“
akupun sampai di ibu kota”
Oleh: ali rohman nasution.
Kota Medan
begitu panas membara, mentari seolah membakar bumi dengan ganasnya, seperti
jilatan api penyiksa penghuni neraka, huh,,,aku mendengus resah, cuaca yang
begitu panas menambah buruk suasana batinku saja, terlihat para pelancong lalu
lalang datang dan pergi dari berbagai negara dengan tujuan wisata Danau Toba,
Pulau Samosir, Brastagi dan berbagai tempat wisata menarik di Sumatera Utara,
benar-benar sibuk pikirku!
Aku mengangkat koper milikku yang beratnya hampir 20 kg menuju tempat waiting pesawat, ada beberapa anak tangga dan
beberapa kali pemeriksaan sebelum sampai dipenungguan ini, sebelumnya aku memeluk
pamanku, dan kaka seniorku waktu
dipestren dulu yang turut mengantarkanku kebandara ini sebagai tanda perpisahan,
sejatinya hatiku begitu perih dan
terluka, yang aku harapkan adalah sosok
ibu yang ada dihadapanku, yang aku
memeluknya dan mencium tangannya yang lembutdan mengatakan do’akan aku ibu,
doakan anakmu untuk sukses disana, agar aku bisa membahagiakanmu ibu.
Namun itu hanyalah sebuah hayalan, lagi-lagi masalah
uang, aku harus berangkat menunuju bandara tanpa ditemani ibunda tercinta,
jarak antara rumah dan bandara yang begitu jauh dan memerlukan biaya yang tidak
sedikit membuatku harus berpisah dengan ibunda ketika menaiki mobil Antar
Lintas Sumatera (ALS) yang mengantarkanku kebandara ini.
Tiketnya pa? Kata petugas” membangunkan
lamunanku
Owh ia ini! jawabku
Silahkan barangnya ditaruh, sambil menunjuk tempat
pemeriksaan barang, ia sahutku kembali.
Aku mengambil barang bawaanku, koper
dan tas ransel gede yang isinya pakaian dan ijazahku, aku menuju tangga selanjutnya dan dengan pemeriksaan
yang terus berlanjut, begitu ketatkah
pemeriksaan di bandara ini fikirku!, ya kasus kasus terorisme di Indonesia
memang membuat pengamanan sangat ditingkatan apalagi ditempat seperti ini,
aku teringat sebuah film tentang pemuda
yang tertangkapdan dijobloskan kepenjara gara-gara temannya sendiri menjebaknya dengan
memasukkan narkoba ke dalam tas miliknya, aku jadi takut jangan-jangan ada juga yang
menjebakku, namun semua itu hanya hayalanku semata, semua terasa lega setelah
petugas mengijinkanku masuk, dan semua barangku bersih dari benda-benda yang
mencurigakan.
Ini kali pertamaku memasuki bandara dan
untuk kali pertama pula akan menaiki
pesawat, rasa takut dan bingung
menghampiriku, aku tidak tahu harus bagaimana,
kulihat ada beberapa pintu untuk
menuju pesawat yang ada di landasan lepas pesawat terbang, kakak kelasku hanya
berpesan nanti masuk saja pintu pertama dan tunggu panggilan pesawat yang akan kamu tumpangi, aku melihat tiketku dan mencocokkanya dengan
orang-orang yang ada disampingku, tiketnya beda-beda, takutku semakin membuncah
hingga akhirnya akumenemukan prempuan yang mempunyai tiket yang sama denganku,
aku menyapanya dan mengenalkan namaku,
kemudian aku menanyakan kepadanya kapan pesawat yang kami tumpangi tiba,
ia mengatakan mungkin sebentar lagi, aku bersyukur karena ada orang yang bisa
aku ikuti, aku hanya berfikir kalau ia jalan akupun ikut jalan, ya begitulah
kisahku sebelum terbang ke Jakarta.
Aku terlahir dari keluarga sederhana di
daerah sumatera utara, ayah dan ibuku
adalah seorang petani, masa kecilku
adalah masa yang sangat indah, dengan keluarga yang sangat menyangiku, aku
adalah satu-satunya anak laki-laki dikeluarga kami, dua kakak dan dua adek
prempuanku membuatku diistimewakan dalam keluarga, aku seakan dimanjakan dan selalu
dipenuhi keinginannya, akupun tumbuh menjadi anak yang lembek dan bergantung
pada orangtua, namun kebahagianku
ternyata tak bertahan lama, ketika Tuhan berkehendak lain, sang ayah dipanggil
kepangkuannya, Padahal aku masih kelas dua sekolah dasar (SD) yang masih butuh
kasih dan sayang seorang ayah, hilang sudah kebahagianku, kini aku hanya punya
seorang ibu yang terus berjuang untukku,
aku memang anak yang malas,
kebiasaan dimanja selama ini membuatku malas bekerja, atau hanya sekedar
membantu orang tua, aku hanya ingin sekolah dan bermain saja, ketika aku lulus
Sekolah Dasar (SD) ibuku mengatakan agar aku tidak usah melanjutkan sekolah
lagi, aku dirumah saja membantu ibu bekerja menjadi pembersih kelapa sawit di
kebun orang, jelas saja aku marah sama ibu, dan aku tidak mau, hingga akhirnya
nenekku memasukanku kepesantren dan membantu ibu membiayai sekolahku , begitulah
dengan adanya nenek akhirnya aku disekolahkan hingga tingkat aliyah.
Masalah besar ini datang ketika kepala
sekolah menanyakan akan kemanakah kami melanjutkan kuliah? teman-teman kelasku satu persatu menjawab keinginan
mereka, ada yang ke Universitas Sumatera Utara (USU), ada yang ke Universitas
Negeri Medan (UNIMED), ada yang ke UISU Medan , IAIN Medan dlL. Aku hanya
terdiam dan tak bisa berkat apa-apa, sejak awal ibuku sudah berpesan padaku,
jangan berfikir untuk kuliah ya nak, lulus aliyah saja sudah Alhamdulillah,
kuliah hanya untuk mereka yang mampu, seperti orang si raji misalnya ia pantas
kuliah kata ibuku, yaaku memang tahu keluarga si raji kaya, mereka punya segalanya, dulu aku akrab
dengannya, namun karena status mereka
yang berubah jadi OKB alias orang kaya
baru, iapun merasa tidak selevel lagi berteman denganku, hatiku memang sering
sakit dibuat keluarga mereka , ayahnya selalu membangga banggakan anaknya dihadapanku,
padahal dulu mereka bukan siapa-siapa, aku masih ingat ketika ayah masih ada,
keluargamereka paling sering ngutang
kekeluarga kami, ibuku selau memberi bahkan tak pernah minta kembali, namun
karena posisi mereka sekarang yang sedang dilangit membuat mereka lupa akan
daratan.
Peringatan ibu itu selalu mengiang
ditelingaku, rasanya aku ingin
mengatakan kepada ibukalau aku tidak mau dihinakan , aku tidak mau dicaci sama
mereka, aku tidak mau dikatakan anak yang malang karena tidak bisa melanjutkan
kuliah, aku selalu mengataka kepada ibu, kalau aku ingin kuliah, tapi
dengan tegas ibuku mengatakan kalau ia tidak bisa membiayai kuliahku, kalaupun
aku mau kuliah harus dengan uangku sendiri, dan dengan caraku sendiri.
sejatinya hatiku hancur, bukannya aku menyalahkan
ibu, tapi aku melihat gurat kesedihan diwajahnya selama ini, betapa lelah dan
letinya ia selama ini memperjuangkan hidupku kakak dan kedua adikku, aku begitu
sedih, kalau hanya lulus dari pesantren saja bagaimana aku bisa membahagiakan
mu ibu, hatiku menjerit menangis.
Aku terus memutar otak, bagimanapun
caranya aku harus bisa kuliah, dan tempat kuliahku harus lebih keren dan jauh
lebih bagus dari si raji, yang selama ini merendahkanku, yang selama ini
keluarganya selalu menyakiti hatiku, hari itu aku datang kerumah sang nenek,
kuceritakan keinginanku untuk kuliah,
aku membujuknya dan meyakinkannya
kalau aku bisa sukses, kalau aku bisa
membahagiakan keluarga dan dirinya, nenek hanya berpesan ”selama aku masih
hidup aku akan selalu mendukung keinginanmu, tapi aku tidak tahu kalau untuk
kuliah apa aku bisa membantumu”, tuturnya.aku begitu sedih mendengarnya, walau
nenekku mau membantuku, tapi aku yakin ia juga takut sama anak-anaknya yang
selama ini memarahinya karena membantu biaya sekolahku selama ini.
Tuhan betapa pahitnya hidup ini, selama
ini yang membantu biaya sekolahku adalah nenek, walupun ia hanya membantu
beberapa persen saja, namun hal itu tidak membuat senang hati anak-anaknya,
hati adik ayahku, pamanku sendiri, mereka marah, kenapa aku harus dibantu,
kadang air mata ini sering menagis gara-gara mereka, gara-gara pamanku yang
tidak punya hati, jangankan membantu biaya sekolahku biaya sekolah anak yatim yang sudah tidak punya
harapan lagi, namun ada orang yang ingin membantuku saja mereka tidak suku,
kadang aku sempat berpikir apakah mereka masih pamanku atau tidak, aku tidak tahu hal apa yang membuat mereka
begitu benci kepada keluargaku, yang aku tahu dulu ketika ayah ingin menikahi
ibuku, mereka tidak suku dengan ibu, banyak hal yang tidak mereka suka, namun
ayahku tetap menikahi ibu, ketika ayah masih ada mereka semua ramah, datang kerumah
makan minum dan minta uang biasa saja bagi mereka dan ayah selalu memberikan permintaan mereka,
namun setelah ayah tiada semua terasa sirna, mereka begitu membenci keluarga
kami hingga hari ini.
Semua seakan memusuhi keluarga ini,
keluarga yang malang ini, keluarga yang ditinggal pergi ayah yang terkasih, aku punya paman, punya bibi, tapi tidak ada satupun yang mau peduli dan membantuku,
jangankan untuk membantuku untuk kuliah, ketika sekolah aliayah saja, ketika
aku tidak bisa ujian gara-gara biaya sekolah
yang belum lunas, aku mendatangi mereka satu persatu, dan menceritakan
keadaanku,dan kesulitan yang aku alami, namun tak ada satupun yang peduli dengan
keadaanku.
ya,,begitulah kisahku, dan hari ini aku akan
lulus aliyah, dan aku ingin kuliah, aku ingin mengatakan pada dunia kalau anak
orang miskin sepertikupun layak dan
pantas untuk kuliah, walau bukan anak yang brilian namun aku pernah menjadi juara umum di sekolah walau
tidak setiap semesternya setikanya dua kali aku menajadi juara umum di
pesantrenku, semua guru-guru sudah merekomendasikan tempat kuliah untukku,
namun aku masih bingung darimana biaya hidupku nanti dan apa kata orang-orang tentangku nantinya.
Waktu itu kepala sekolah berpesan agar
aku mendaftar saja dulu, kalau memang rezeki nanti ambil, kalaupun tidak ya
sudah tidak usah diambil, kan lulus jugabelum tentu pesannya, sembari kamu bekerja
mengumpulkan uang dulu pesannya, aku menuruti permintaan kepala sekolah, bagiku apa yang menjadi pesannya adalah hal
yang harus dilaksanakan, dia juga yang membuatku terdorong untuk kuliah,
kisah suka dukanya tentang kuliahnya dulu, tanpa ada yang membantunya,
ia hanya jadi marbot masjid ketika kuliah, aku ingin sekali mengikuti jejak
langkahnya dan ingin sukses sepertinya.
Hari itu aku didaftarkan sama guru wali
kelasku, aku masih ingat uang daftar yang harus di setor kebank sebesar 300
ribu rupiah, aku tidak punya uang sebanyak itu, aku mendatangi nenek dan
menceritakan kepadanya kalau aku ingin mendaftar kuliah, akhirnya nenek
memberiku uang 300 tersebut hingga aku bisa mendaftar, aku tidak tahu pasti
kemana aku didaftarkan, karena aku mengikuti keinginan guru-guruku, aku baru
tahu dari wali kelasku kalau aku di daftarkan di UIN Jakarta dan itu sudah
kesepakatan guru-guru dan mereka juga yang memilihkan jurusan yang pas buatku,
gila pikirku, di Medan saja biayanya sudah berapa banyak?, apalagi harus kuliah
di Jakarta, derita batinku semakin
dalam, aku berharap bisa lulus, namun aku juga takut darimana aku bisa dapat
uang untuk bisa kuliah kesana, tentang
semua yang aku jalani tak sedikitpun aku ceritakan kepda ibu, aku takut ibuku
marah, aku takut tetangga mencemoohnya karena punya anak yang tidak tau diri, aku takut kalau tetangga mengatakan
anaknya sudah tidak waras, makan saja susah malah berharap kuliah kejakarta.
Hari itu aku di telphon sama teman
lamaku, teman yang pernah sama-sama Tsanawiyah satu pesantren denganku, namun
ketika lulus ia tidak mau lagi di pesantren, ia memutuskan masuk MAN di daerahnya, ia menelphonku,
ini ali ya’ katanya” ia sahutku, kamu daftar
di UIN Jakarta juga ya’’’ ia knp ko tau, tanyaku lagi penasaran , ia soalnya ku
juga daftar disana, owhhh kataku, uda liat pengumuman belum?tanyanya, belooom,
emank uda keluar?, udah, aku udah liat, terus hasinya bagaimana?, selamat ya kamu lulus, kamu memang pintar
katanya, hah kataku, musibah besar pikirku,
terus kamu? Aku tidak lulus li, jawabnya sedih, aku hanya terdiam, aku
juga sedih, namun sedihku berbeda dengan sedihnya, aku sedih karena aku tidak
tahu dari mana aku bisa mendapatkan biaya kuliah nantinya, sedangkan sedihnya
karena ditolok di universitas keinginannya.apa kata orang-orang tentangku, apa
kata tetangga nanti kepada ibuku, owh
tuhan semuanya tersa semakin berat pikirku.
Waktu terus berjalan, ibuku belum tahu
kalau anaknya yang bandel dan nakal serta tidak tahu diri ini telah di terima
di salah satu universitas islam di Jakarta, namun ternyata aku tidak bisa
menutupinya terlalu lama, ketika pengumuman hasil ujian Nasional seluruh orang
tua dan murid hadir ke pesantren melihat
hasil dari kerja keras anaknya selama tiga tahun, waktu itu kepala sekolah meminta ibuku yang
memberikan sambutan mewakili wali santri, namun kerena ibuku hanya seorang
petani, dan tidak sempat lulus SD, ibuku menolak dan beralasan masih ada yang
lebih lanyak, namun kepala sekolah tetap meminta, namun ibuku tetap menolak,
aku tahu ibuku akan grogi, dan tidak bia ngomong didepan umum, begitu juga
ketika penerimaan raport, ibuku selalu menolak, ternyata hari itu adalah hari
keberuntunganku, lagi-lagi nilai UN ku paling tinggi se pesantren, dan nomer dua sekabupaten, aku sangat
bahagia, kemudian ibuku mengambil pengumumannya kedepan dan sang kepala sekolah
mengatakan selamat kepada ibuku karena anaknya sudah di terima di uin Jakarta, sontak ibuku
kaget dan akupun hanya bisa terdiam malu, akhirnya ibukupun tahu juga.
Sesampai dirumah ibuku memarhiku,
kenapa aku nekat, kenapa aku begitu tidak tau diri,aku tidak sadar siapa aku,
dan siapa keluargaku, kenapa aku tidak sadar kalau aku ini hanya anak seorang
tukang babu di kebun orang, kalau aku ini anak yang tidak ada satupun pamannya
yang peduli, hingga ruangan itu di pecah dengan tangisan, aku menangis dan
ibukupun menangis seraya memeluk hangat diriku, sunggguh ibu ingin menyekolahku setinggi
mungkin namun apalah daya ia tak mampu, ibuku memeluk erat diriku dan minta
maaf kalau ia tidak bisa mewujudkan semua impianku, aku mengis dan mengatakan
pada ibu, kalau aku hanya butuh do’a dan dukungan darinya, karena do’a ibunda adalah
do’a yang lansung di ijabah oleh Allah, doakan ankmu ibunda,agar anakmu dapat
beasiswa pintaku. Ibuku mengusap air
mataku dan megatakan ia akan selalu ada dan selalu mendukungku dan tidak akan
lupa mendoakanku, hatikupun lega dan bahagia ketika kata itu keluar dari mulut
ibuku.
Waktu terus berjalan tanpa ada satupun
yang bisa mengulangnya kembali, ternyata guruku telah mengajukan beasiswa bidikmisi
untuk ku, beasiswa yang diperuntukkan untuk anak-anak berprestasi namun kurang
mampu, kata guruku aku harus sabar menunggu pengumumannya dan jangan lupa untuk berdo’a,
aku pun terus berdo’a semoga cita-citaku tercapai, disis lain kata nenek ia
ingin melihatku kuliah, ia berjanji kalau ia akan mendanai biaya kuliahku selagi
ia masih hidup, optimisme untuk kuliah pun mulai terbuka lebar, nenekku yang
mempunyai beberapa hektar kelapa sawit akan siap mendanai biaya kuliahku
kejakarta, akupun tersenyum bahagia dan menceritakan kepada ibuku, rasa bahagia
pun menyilimuti keluarga kami.
Namun berselang beberapa minggu dari
ucapan sang nenek yang menjanjikan kebahagian untukku musibah melanda, sang
nenek jatuh sakit, ada penyakit di tengggorokannya yang dua tahun yang silam
menyerangnya, dan sekarang penyakit itu tumbuh kembali menyerang nenek, hinggahari-hari
ku kuhabisakan menemani nenek yang terbaring dirumahnya, ia masih bisa
bercerita dan mendengarkan ceritaku walau tidak sebaik ketika ia masih sehat
bugar, nasehat dan harapannya selau ia tumpahkan untukku, ia berpesan kalau aku
jagan lupa medoakan anaknya yaitu ayahku sendiri, agar ayah selalu bahagia di
alam sana, nenek juga berpesan agar aku jangan lupa mendoakannya kalau ia sudah
tiada, rasa takut menghantuiku, aku takut kalau semua pesan-pesannya pertanda
sesuatu yang buruk akan terjadi, akupun
berjanji kepada nenek kalau aku akan menunaikan semua amanahnya, benar saja,
seminggu setelah kejadian ini sang nenek menghembuskan napas terakirnya, sedih,
sakit, kecewa entah perasaan apa lagi, sang nenek satu-satunya orang selain
ibuku yang selalu peduli sama keluarga kami akhrihnya meninggalkanku, semua
harapanku pupuslah sudah, aku hanya bisa diam terpaku tanpa berkata apa-apa.
Lagi-lagi hati ini seakan disayat-sayat, owh tuhan kenapa bukan aku saja yang
yang kau panggil sungguh hidup ini begitu berap bagiku Tuhan.
Ketika masih dalam keadaan berkabung,
dua hari setelah nenek dikubur, tiba-tiba saja ayahnya raji, orang yang kaya
dikampungku memanggilku, aku hanya berharap ia mengatakan kalau ia mau
membantubiaya kuliahku, namun ternyata apa yang menjadi harapanku jauh panggang
dari api, ia menasehatiku, jangan sedih ya karena tidak bisa kuliah, mungkin
ini sudah takdir, kalau si raji dia sudah di daftarkan di USU jurusan hukum,
dan pasti akan lulus katanya. Ia hanya itu pesannya kepadaku, ingin sekali rasanya
aku mengatakan kalau aku sudah lulus dijakarta, dan aku juga akan kuliah disana, namun karena
ketidak pastian apaka aku bisa kuliah atau tidak hingga membuatku hanya diam mendengarkan semua hinaannya,
karena bagiku hinaan ini akan menjadi vitamin untukku agar aku lebih semangat
lagi.
Air mataku tumpah ketika kembali
kerumah, betapa kejam hidup ini pikirku, ketika aku dalam keadaansedih
tiba-tiba ada zmz masuk dari guru wali kelas ku “ ali ini ada berita bagus
bapak terima, beasiswa yang kamu ajukan di terima, namun harus test wawancara
lagi, kalau ali lulus wawancara berarti ali bisa kuliah gratis, siap-siap yang
hari senin langsung berangkat Jakarta
semangat ya nak”.
Aku begitu bahagia mendapat zmz
tersebut, rasanya semua lelahku hilang sudah, akupun menceritaannya kepada ibu,
ibukupun bahagia mendengarnya, namun lagi-lagi biaya kejakarta, aku langsung
menghubungi kakak kelasku yang ada di kota medan dan menayakan berapa tiket
peswat, kata kk tersebut paling murah 1,juta 7
ratus ribu karena ini musim mudik dan sebentar lagi lebaran, owh tuhan
mahal sekali, pikirku, itu hanya sekali jalan, dan belum lagi balik kesini.
Akupun menlphon guruku dan menanyakan apakan dalam testing ini akan langsung
diterima setelah interview, namun kayanya belum tentu, masih kemungkin juga di tolak,
semua gelap kembali, kupandangi wajah ibu, ibukupun Nampak lemas dan lesu, aku
hanya duduk di pijok rumah itu dan memeluk lututku seraya bulir-bilir air mata
ini terus berjatuhan, harapanku kembali pupus.
Ibukupun menghiburku, kalau aku harus
sabar, kalau memang Allah menakdirkanku untuk kuliah pasti ada jalan yang Allah
kasih, jalan yang tidak kita duga darimana datangnya, aku memeluk ibu dan minta
doa drinya, moga masih ada cara lain dan jalan yang jauh lebih indah yang allah
siapkan untukku.
Hari itu aku di telphon pihak UIN
kenapa aku tidak datang interview, akupun menjelaskan keadaan keuangan
keluargaku yang tidak mampu untuk
kesana, apalagi bukan dengan kepastian langsung diterima, kalau ada kepastian
di terima akupun bisa berangkat walau harus mengutang kesana-kemari. Ternyata
Tuhan mendengar doa’ku, aku di ijinkan tidak harus datang ke UIN jakrta, aku di
interviuw lewat tlpon saja, aku menjawab semua pertanyaan denga mantap, hingga
terakhir penanya mengatakan semangat ya mas ali insya allah diterima seminggu
lagi akan ada pengumumannya ditunggu ya jangan lupa berdoa’a.
Setelah kesulitan akan ada kemudahan
itulah janji Allah dalam alqur’an, seminggu kemudian aku mendapat informasi dari
temanku di Jakarta kalau SK rektor UIN Jakarta telah keluar dan penerima bidikmisi UIN Jakarta berjumlah 100
orang dan namaku tercantum disana ALI ROHMAN NASUTION,
aku tak tahu harus berucap apa, aku hanya memeluk erat bundaku dan kami
menangis bersama, bersama kedua adikku yang turut bahagia mendengar keberhasilanku,
indah pada waktunya, semua terbalas dengan kesungguhan, Allah tidak akan
menelantarkanku, aku adalah mahasiswa yang kere, namun aku bisa mengatasinya,
hiangga hari itu aku harus berangkat kejakarta, karena masih banyak yang harus
aku lengkapi, spontan masyarakat desa tidak percaya kalau aku akan kuliah
dijakarta, mereka mengatkannya itu gila, bagimana mungkin anak seorang janda
yang kerajanya hanya menjadi babu di kebun orang bisa kuliah kejarta, ia semua itu memang serasa mustahil, namun
dengan kemauan dan kesungguhan dan keikhlasan seorang ibu semuanya bisa
bejalan, aku masih ingat rumahkami penuh dan halaman rumah begitu ramai, semua
tetangga dan teman-temanku berdatangan, mereka menyalamiku, karena aku akan
berangkat sebentar lagi, tidak lupa aku menyalami ayahnya raji, dan mengatakan
kepadanaya kalau aku bisa kuliah, dan takdirku bukan menajadi orang susah, aku
mendapat kabar dari tetangga ternyata anaknya tidak diterima di USU,
padahal mereka sudah menyuap sebesar 50 juta rupiah, aku bersyukur aku bisa kuliah tanpa harus
meneluarkan uang seperti itu, semua menyalamiku dan banyak yang membrtika uang
padaku, hingga aku mengantongi jutaan rupiah, aku hanya berucap ini keutamaan
tuhanku, kudekap bundaku dan adik-adikku serta orang-orang yang mengantarku
kebus itu, aku menitikkan air mata, kuliahat air mata bundaku, airmata haru,
air mata bangga punya anak sepertiku.
Prempuan disampingkupun menyadarkanku
dari lamunanku, ternyata pesawat yang kami tunggu-tunggu menuju Jakarta telah
tiba, akupun mengangkat koperku kepesawat, hingga aku terbang menunuju
kampusku, tempat dimana aku akan meraih mimpi dan cita-citaku.
“BERSAMBUNG”