Senin, 29 April 2013

kisah bidikmisi menginspirasi.


akupun sampai di ibu kota
Oleh: ali rohman nasution.
Kota Medan begitu panas membara, mentari seolah membakar bumi dengan ganasnya, seperti jilatan api penyiksa penghuni neraka, huh,,,aku mendengus resah, cuaca yang begitu panas menambah buruk suasana batinku saja, terlihat para pelancong lalu lalang datang dan pergi dari berbagai negara dengan tujuan wisata Danau Toba, Pulau Samosir, Brastagi dan berbagai tempat wisata menarik di Sumatera Utara, benar-benar sibuk pikirku!
 Aku mengangkat koper milikku  yang beratnya hampir 20 kg menuju  tempat  waiting pesawat, ada beberapa anak tangga dan beberapa kali pemeriksaan sebelum sampai dipenungguan ini, sebelumnya aku memeluk pamanku, dan kaka seniorku  waktu dipestren dulu yang turut mengantarkanku kebandara ini sebagai tanda perpisahan, sejatinya  hatiku begitu perih dan terluka, yang aku harapkan adalah  sosok ibu yang  ada dihadapanku, yang aku memeluknya dan mencium tangannya yang lembutdan mengatakan do’akan aku ibu, doakan anakmu untuk sukses disana, agar aku bisa membahagiakanmu ibu.
 Namun itu hanyalah sebuah hayalan, lagi-lagi masalah uang, aku harus berangkat menunuju bandara tanpa ditemani ibunda tercinta, jarak antara rumah dan bandara yang begitu jauh dan memerlukan biaya yang tidak sedikit membuatku harus berpisah dengan ibunda ketika menaiki mobil Antar Lintas Sumatera (ALS) yang mengantarkanku kebandara ini.
Tiketnya pa? Kata petugas” membangunkan lamunanku
Owh ia ini! jawabku
Silahkan  barangnya ditaruh, sambil menunjuk tempat pemeriksaan  barang, ia sahutku kembali.
Aku mengambil barang bawaanku, koper dan tas ransel gede yang isinya pakaian dan ijazahku,  aku menuju tangga selanjutnya dan dengan pemeriksaan yang terus berlanjut,  begitu ketatkah pemeriksaan di bandara ini fikirku!, ya kasus kasus terorisme di Indonesia memang membuat pengamanan sangat ditingkatan apalagi ditempat seperti ini, aku  teringat sebuah film tentang pemuda yang tertangkapdan dijobloskan kepenjara  gara-gara temannya sendiri menjebaknya dengan memasukkan narkoba ke dalam tas miliknya, aku  jadi takut jangan-jangan ada juga yang menjebakku, namun semua itu hanya hayalanku semata, semua terasa lega setelah petugas mengijinkanku masuk, dan semua barangku bersih dari benda-benda yang mencurigakan.
Ini kali pertamaku memasuki bandara dan untuk kali pertama  pula akan menaiki pesawat,  rasa takut dan bingung menghampiriku, aku tidak tahu harus bagaimana,  kulihat  ada beberapa pintu untuk menuju pesawat yang ada di landasan lepas pesawat terbang, kakak kelasku hanya berpesan nanti masuk saja pintu pertama dan tunggu panggilan pesawat  yang akan kamu tumpangi,  aku melihat tiketku dan mencocokkanya dengan orang-orang yang ada disampingku, tiketnya beda-beda, takutku semakin membuncah hingga akhirnya akumenemukan prempuan yang mempunyai tiket yang sama denganku, aku menyapanya dan mengenalkan namaku,  kemudian aku menanyakan kepadanya kapan pesawat yang kami tumpangi tiba, ia mengatakan mungkin sebentar lagi, aku bersyukur karena ada orang yang bisa aku ikuti, aku hanya berfikir kalau ia jalan akupun ikut jalan, ya begitulah kisahku sebelum terbang ke Jakarta.
Aku terlahir dari keluarga sederhana di daerah sumatera utara,  ayah dan ibuku adalah seorang petani,  masa kecilku adalah masa yang sangat indah, dengan keluarga yang sangat menyangiku, aku adalah satu-satunya anak laki-laki dikeluarga kami, dua kakak dan dua adek prempuanku membuatku diistimewakan dalam  keluarga, aku seakan dimanjakan dan selalu dipenuhi keinginannya, akupun tumbuh menjadi anak yang lembek dan bergantung pada orangtua, namun  kebahagianku ternyata tak bertahan lama, ketika Tuhan berkehendak lain, sang ayah dipanggil kepangkuannya, Padahal aku masih kelas dua sekolah dasar (SD) yang masih butuh kasih dan sayang seorang ayah, hilang sudah kebahagianku, kini aku hanya punya seorang ibu yang terus berjuang untukku,  aku memang anak yang  malas, kebiasaan dimanja selama ini membuatku malas bekerja, atau hanya sekedar membantu orang tua, aku hanya ingin sekolah dan bermain saja, ketika aku lulus Sekolah Dasar (SD) ibuku mengatakan agar aku tidak usah melanjutkan sekolah lagi, aku dirumah saja membantu ibu bekerja menjadi pembersih kelapa sawit di kebun orang, jelas saja aku marah sama ibu, dan aku tidak mau, hingga akhirnya nenekku memasukanku kepesantren dan membantu ibu membiayai sekolahku ,  begitulah  dengan adanya nenek akhirnya aku disekolahkan hingga tingkat aliyah.
Masalah besar ini datang ketika kepala sekolah menanyakan akan kemanakah kami melanjutkan kuliah?  teman-teman kelasku satu persatu menjawab keinginan mereka, ada yang ke Universitas Sumatera Utara (USU), ada yang ke Universitas Negeri Medan (UNIMED), ada yang ke UISU Medan , IAIN Medan dlL. Aku hanya terdiam dan tak bisa berkat apa-apa, sejak awal ibuku sudah berpesan padaku, jangan berfikir untuk kuliah ya nak, lulus aliyah saja sudah Alhamdulillah, kuliah hanya untuk mereka yang mampu, seperti orang si raji misalnya ia pantas kuliah kata ibuku, yaaku memang tahu keluarga si raji kaya,  mereka punya segalanya, dulu aku akrab dengannya, namun karena  status mereka yang berubah jadi OKB  alias orang kaya baru, iapun merasa tidak selevel lagi berteman denganku, hatiku memang sering sakit dibuat keluarga mereka , ayahnya selalu membangga banggakan anaknya dihadapanku, padahal dulu mereka bukan siapa-siapa, aku masih ingat ketika ayah masih ada, keluargamereka paling sering ngutang  kekeluarga kami, ibuku selau memberi bahkan tak pernah minta kembali, namun karena posisi mereka sekarang yang sedang dilangit membuat mereka lupa akan daratan.
Peringatan ibu itu selalu mengiang ditelingaku,  rasanya aku ingin mengatakan kepada ibukalau aku tidak mau dihinakan , aku tidak mau dicaci sama mereka, aku tidak mau dikatakan anak yang malang karena tidak bisa melanjutkan kuliah,  aku selalu mengataka  kepada ibu, kalau aku ingin kuliah, tapi dengan tegas ibuku mengatakan kalau ia tidak bisa membiayai kuliahku, kalaupun aku mau kuliah harus dengan uangku sendiri, dan  dengan caraku sendiri.
 sejatinya hatiku hancur, bukannya aku menyalahkan ibu, tapi aku melihat gurat kesedihan diwajahnya selama ini, betapa lelah dan letinya ia selama ini memperjuangkan hidupku kakak dan kedua adikku, aku begitu sedih, kalau hanya lulus dari pesantren saja bagaimana aku bisa membahagiakan mu ibu, hatiku menjerit menangis.
Aku terus memutar otak, bagimanapun caranya aku harus bisa kuliah, dan tempat kuliahku harus lebih keren dan jauh lebih bagus dari si raji, yang selama ini merendahkanku, yang selama ini keluarganya selalu menyakiti hatiku, hari itu aku datang kerumah sang nenek, kuceritakan keinginanku untuk kuliah,  aku  membujuknya dan meyakinkannya kalau  aku bisa sukses, kalau aku bisa membahagiakan keluarga dan dirinya, nenek hanya berpesan ”selama aku masih hidup aku akan selalu mendukung keinginanmu, tapi aku tidak tahu kalau untuk kuliah apa aku bisa membantumu”, tuturnya.aku begitu sedih mendengarnya, walau nenekku mau membantuku, tapi aku yakin ia juga takut sama anak-anaknya yang selama ini memarahinya karena membantu biaya sekolahku selama ini.
Tuhan betapa pahitnya hidup ini, selama ini yang membantu biaya sekolahku adalah nenek, walupun ia hanya membantu beberapa persen saja, namun hal itu tidak membuat senang hati anak-anaknya, hati adik ayahku, pamanku sendiri, mereka marah, kenapa aku harus dibantu, kadang air mata ini sering menagis gara-gara mereka, gara-gara pamanku yang tidak punya hati, jangankan membantu biaya sekolahku biaya  sekolah anak yatim yang sudah tidak punya harapan lagi, namun ada orang yang ingin membantuku saja mereka tidak suku, kadang aku sempat berpikir apakah mereka masih pamanku atau tidak,  aku tidak tahu hal apa yang membuat mereka begitu benci kepada keluargaku, yang aku tahu dulu ketika ayah ingin menikahi ibuku, mereka tidak suku dengan ibu, banyak hal yang tidak mereka suka, namun ayahku tetap menikahi ibu, ketika ayah masih ada mereka semua ramah, datang kerumah makan minum dan minta uang biasa saja bagi mereka dan  ayah selalu memberikan permintaan mereka, namun setelah ayah tiada semua terasa sirna, mereka begitu membenci keluarga kami hingga hari ini.
Semua seakan memusuhi keluarga ini, keluarga yang malang ini, keluarga yang ditinggal pergi ayah yang terkasih,  aku punya paman, punya bibi, tapi tidak ada  satupun yang mau peduli dan membantuku, jangankan untuk membantuku untuk kuliah, ketika sekolah aliayah saja, ketika aku  tidak bisa ujian gara-gara biaya sekolah yang belum lunas, aku mendatangi mereka satu persatu, dan menceritakan keadaanku,dan kesulitan yang aku alami, namun tak ada satupun yang peduli dengan keadaanku.
 ya,,begitulah kisahku, dan hari ini aku akan lulus aliyah, dan aku ingin kuliah, aku ingin mengatakan pada dunia kalau anak orang miskin sepertikupun layak  dan pantas untuk kuliah, walau bukan anak yang brilian namun aku  pernah menjadi juara umum di sekolah walau tidak setiap semesternya setikanya dua kali aku menajadi juara umum di pesantrenku, semua guru-guru sudah merekomendasikan tempat kuliah untukku, namun aku masih bingung darimana biaya hidupku nanti dan apa kata orang-orang  tentangku nantinya.
Waktu itu kepala sekolah berpesan agar aku mendaftar saja dulu, kalau memang rezeki nanti ambil, kalaupun tidak ya sudah tidak usah diambil, kan lulus jugabelum tentu pesannya, sembari kamu bekerja mengumpulkan uang dulu pesannya, aku menuruti permintaan kepala sekolah,  bagiku apa yang menjadi pesannya adalah hal yang harus dilaksanakan, dia juga yang membuatku terdorong untuk  kuliah,  kisah suka dukanya tentang kuliahnya dulu, tanpa ada yang membantunya, ia hanya jadi marbot masjid ketika kuliah, aku ingin sekali mengikuti jejak langkahnya dan ingin sukses sepertinya.
Hari itu aku didaftarkan sama guru wali kelasku, aku masih ingat uang daftar yang harus di setor kebank sebesar 300 ribu rupiah, aku tidak punya uang sebanyak itu, aku mendatangi nenek dan menceritakan kepadanya kalau aku ingin mendaftar kuliah, akhirnya nenek memberiku uang 300 tersebut hingga aku bisa mendaftar, aku tidak tahu pasti kemana aku didaftarkan, karena aku mengikuti keinginan guru-guruku, aku baru tahu dari wali kelasku kalau aku di daftarkan di UIN Jakarta dan itu sudah kesepakatan guru-guru dan mereka juga yang memilihkan jurusan yang pas buatku, gila pikirku, di Medan saja biayanya sudah berapa banyak?, apalagi harus kuliah di Jakarta,  derita batinku semakin dalam, aku berharap bisa lulus, namun aku juga takut darimana aku bisa dapat uang untuk bisa kuliah kesana,  tentang semua yang aku jalani tak sedikitpun aku ceritakan kepda ibu, aku takut ibuku marah, aku takut tetangga mencemoohnya karena punya anak yang tidak  tau diri, aku takut kalau tetangga mengatakan anaknya sudah tidak waras, makan saja susah malah berharap kuliah kejakarta.
Hari itu aku di telphon sama teman lamaku, teman yang pernah sama-sama Tsanawiyah satu pesantren denganku, namun ketika lulus ia tidak mau lagi di pesantren, ia memutuskan masuk MAN di  daerahnya, ia menelphonku,
 ini ali ya’ katanya” ia sahutku, kamu daftar di UIN Jakarta juga ya’’’ ia knp ko tau, tanyaku lagi penasaran , ia soalnya ku juga daftar disana, owhhh kataku, uda liat pengumuman belum?tanyanya, belooom, emank uda keluar?, udah, aku udah liat, terus hasinya bagaimana?,  selamat ya kamu lulus, kamu memang pintar katanya, hah kataku, musibah besar pikirku,  terus kamu? Aku tidak lulus li, jawabnya sedih, aku hanya terdiam, aku juga sedih, namun sedihku berbeda dengan sedihnya, aku sedih karena aku tidak tahu dari mana aku bisa mendapatkan biaya kuliah nantinya, sedangkan sedihnya karena ditolok di universitas keinginannya.apa kata orang-orang tentangku, apa kata tetangga nanti kepada ibuku,  owh tuhan semuanya tersa semakin berat pikirku.
Waktu terus berjalan, ibuku belum tahu kalau anaknya yang bandel dan nakal serta tidak tahu diri ini telah di terima di salah satu universitas islam di Jakarta, namun ternyata aku tidak bisa menutupinya terlalu lama, ketika pengumuman hasil ujian Nasional seluruh orang tua dan  murid hadir ke pesantren melihat hasil dari kerja keras anaknya selama tiga tahun,  waktu itu kepala sekolah meminta ibuku yang memberikan sambutan mewakili wali santri, namun kerena ibuku hanya seorang petani, dan tidak sempat lulus SD, ibuku menolak dan beralasan masih ada yang lebih lanyak, namun kepala sekolah tetap meminta, namun ibuku tetap menolak, aku tahu ibuku akan grogi, dan tidak bia ngomong didepan umum, begitu juga ketika penerimaan raport, ibuku selalu menolak, ternyata hari itu adalah hari keberuntunganku, lagi-lagi nilai UN ku paling tinggi se pesantren,  dan nomer dua sekabupaten, aku sangat bahagia, kemudian ibuku mengambil pengumumannya kedepan dan sang kepala sekolah mengatakan selamat kepada ibuku karena anaknya  sudah di terima di uin Jakarta, sontak ibuku kaget dan akupun hanya bisa terdiam malu, akhirnya ibukupun tahu juga.
Sesampai dirumah ibuku memarhiku, kenapa aku nekat, kenapa aku begitu tidak tau diri,aku tidak sadar siapa aku, dan siapa keluargaku, kenapa aku tidak sadar kalau aku ini hanya anak seorang tukang babu di kebun orang, kalau aku ini anak yang tidak ada satupun pamannya yang peduli, hingga ruangan itu di pecah dengan tangisan, aku menangis dan ibukupun menangis seraya memeluk hangat diriku,  sunggguh ibu ingin menyekolahku setinggi mungkin namun apalah daya ia tak mampu, ibuku memeluk erat diriku dan minta maaf kalau ia tidak bisa mewujudkan semua impianku, aku mengis dan mengatakan pada ibu, kalau aku hanya butuh do’a dan dukungan darinya, karena do’a ibunda adalah do’a yang lansung di ijabah oleh Allah, doakan ankmu ibunda,agar anakmu dapat beasiswa  pintaku. Ibuku mengusap air mataku dan megatakan ia akan selalu ada dan selalu mendukungku dan tidak akan lupa mendoakanku, hatikupun lega dan bahagia ketika kata itu keluar dari mulut ibuku.
Waktu terus berjalan tanpa ada satupun yang bisa mengulangnya kembali, ternyata guruku telah mengajukan beasiswa bidikmisi untuk ku, beasiswa yang diperuntukkan untuk anak-anak berprestasi namun kurang mampu, kata guruku aku harus  sabar menunggu  pengumumannya dan jangan lupa untuk berdo’a, aku pun terus berdo’a semoga cita-citaku tercapai, disis lain kata nenek ia ingin melihatku kuliah, ia berjanji kalau ia akan mendanai biaya kuliahku selagi ia masih hidup, optimisme untuk kuliah pun mulai terbuka lebar, nenekku yang mempunyai beberapa hektar kelapa sawit akan siap mendanai biaya kuliahku kejakarta, akupun tersenyum bahagia dan menceritakan kepada ibuku, rasa bahagia pun menyilimuti keluarga kami.
Namun berselang beberapa minggu dari ucapan sang nenek yang menjanjikan kebahagian untukku musibah melanda, sang nenek jatuh sakit, ada penyakit di tengggorokannya yang dua tahun yang silam menyerangnya, dan sekarang penyakit itu tumbuh kembali menyerang nenek, hinggahari-hari ku kuhabisakan menemani nenek yang terbaring dirumahnya, ia masih bisa bercerita dan mendengarkan ceritaku walau tidak sebaik ketika ia masih sehat bugar, nasehat dan harapannya selau ia tumpahkan untukku, ia berpesan kalau aku jagan lupa medoakan anaknya yaitu ayahku sendiri, agar ayah selalu bahagia di alam sana, nenek juga berpesan agar aku jangan lupa mendoakannya kalau ia sudah tiada, rasa takut menghantuiku, aku takut kalau semua pesan-pesannya pertanda sesuatu yang buruk akan terjadi,  akupun berjanji kepada nenek kalau aku akan menunaikan semua amanahnya, benar saja, seminggu setelah kejadian ini sang nenek menghembuskan napas terakirnya, sedih, sakit, kecewa entah perasaan apa lagi, sang nenek satu-satunya orang selain ibuku yang selalu peduli sama keluarga kami akhrihnya meninggalkanku, semua harapanku pupuslah sudah, aku hanya bisa diam terpaku tanpa berkata apa-apa. Lagi-lagi hati ini seakan disayat-sayat, owh tuhan kenapa bukan aku saja yang yang kau panggil sungguh hidup ini begitu berap bagiku Tuhan.
Ketika masih dalam keadaan berkabung, dua hari setelah nenek dikubur, tiba-tiba saja ayahnya raji, orang yang kaya dikampungku memanggilku, aku hanya berharap ia mengatakan kalau ia mau membantubiaya kuliahku, namun ternyata apa yang menjadi harapanku jauh panggang dari api, ia menasehatiku, jangan sedih ya karena tidak bisa kuliah, mungkin ini sudah takdir, kalau si raji dia sudah di daftarkan di USU jurusan hukum, dan pasti akan lulus katanya. Ia hanya itu pesannya kepadaku, ingin sekali rasanya aku mengatakan kalau aku sudah lulus dijakarta, dan  aku juga akan kuliah disana, namun karena ketidak pastian apaka aku bisa kuliah atau tidak hingga membuatku  hanya diam mendengarkan semua hinaannya, karena bagiku hinaan ini akan menjadi vitamin untukku agar aku lebih semangat lagi.
Air mataku tumpah ketika kembali kerumah, betapa kejam hidup ini pikirku, ketika aku dalam keadaansedih tiba-tiba ada zmz masuk dari guru wali kelas ku “ ali ini ada berita bagus bapak terima, beasiswa yang kamu ajukan di terima, namun harus test wawancara lagi, kalau ali lulus wawancara berarti ali bisa kuliah gratis, siap-siap yang hari senin langsung berangkat  Jakarta semangat ya nak”.
Aku begitu bahagia mendapat zmz tersebut, rasanya semua lelahku hilang sudah, akupun menceritaannya kepada ibu, ibukupun bahagia mendengarnya, namun lagi-lagi biaya kejakarta, aku langsung menghubungi kakak kelasku yang ada di kota medan dan menayakan berapa tiket peswat, kata kk tersebut paling murah 1,juta 7  ratus ribu karena ini musim mudik dan sebentar lagi lebaran, owh tuhan mahal sekali, pikirku, itu hanya sekali jalan, dan belum lagi balik kesini. Akupun menlphon guruku dan menanyakan apakan dalam testing ini akan langsung diterima setelah interview, namun kayanya belum tentu, masih kemungkin juga di tolak, semua gelap kembali, kupandangi wajah ibu, ibukupun Nampak lemas dan lesu, aku hanya duduk di pijok rumah itu dan memeluk lututku seraya bulir-bilir air mata ini terus berjatuhan, harapanku kembali pupus.
Ibukupun menghiburku, kalau aku harus sabar, kalau memang Allah menakdirkanku untuk kuliah pasti ada jalan yang Allah kasih, jalan yang tidak kita duga darimana datangnya, aku memeluk ibu dan minta doa drinya, moga masih ada cara lain dan jalan yang jauh lebih indah yang allah siapkan untukku.
Hari itu aku di telphon pihak UIN kenapa aku tidak datang interview, akupun menjelaskan keadaan keuangan keluargaku yang tidak mampu  untuk kesana, apalagi bukan dengan kepastian langsung diterima, kalau ada kepastian di terima akupun bisa berangkat walau harus mengutang kesana-kemari. Ternyata Tuhan mendengar doa’ku, aku di ijinkan tidak harus datang ke UIN jakrta, aku di interviuw lewat tlpon saja, aku menjawab semua pertanyaan denga mantap, hingga terakhir penanya mengatakan semangat ya mas ali insya allah diterima seminggu lagi akan ada pengumumannya ditunggu ya jangan lupa berdoa’a.
Setelah kesulitan akan ada kemudahan itulah janji Allah dalam alqur’an, seminggu kemudian aku mendapat informasi dari temanku di Jakarta kalau SK rektor UIN Jakarta telah keluar dan  penerima bidikmisi UIN Jakarta berjumlah 100 orang dan namaku tercantum disana                           ALI ROHMAN NASUTION, aku tak tahu harus berucap apa, aku hanya memeluk erat bundaku dan kami menangis bersama, bersama kedua adikku yang turut bahagia mendengar keberhasilanku, indah pada waktunya, semua terbalas dengan kesungguhan, Allah tidak akan menelantarkanku, aku adalah mahasiswa yang kere, namun aku bisa mengatasinya, hiangga hari itu aku harus berangkat kejakarta, karena masih banyak yang harus aku lengkapi, spontan masyarakat desa tidak percaya kalau aku akan kuliah dijakarta, mereka mengatkannya itu gila, bagimana mungkin anak seorang janda yang kerajanya hanya menjadi babu di kebun orang bisa kuliah kejarta,  ia semua itu memang serasa mustahil, namun dengan kemauan dan kesungguhan dan keikhlasan seorang ibu semuanya bisa bejalan, aku masih ingat rumahkami penuh dan halaman rumah begitu ramai, semua tetangga dan teman-temanku berdatangan, mereka menyalamiku, karena aku akan berangkat sebentar lagi, tidak lupa aku menyalami ayahnya raji, dan mengatakan kepadanaya kalau aku bisa kuliah, dan takdirku bukan menajadi orang susah,  aku  mendapat kabar dari tetangga ternyata anaknya tidak diterima di USU, padahal mereka sudah menyuap sebesar 50 juta rupiah,  aku bersyukur aku bisa kuliah tanpa harus meneluarkan uang seperti itu, semua menyalamiku dan banyak yang membrtika uang padaku, hingga aku mengantongi jutaan rupiah, aku hanya berucap ini keutamaan tuhanku, kudekap bundaku dan adik-adikku serta orang-orang yang mengantarku kebus itu, aku menitikkan air mata, kuliahat air mata bundaku, airmata haru, air mata bangga punya anak sepertiku.
Prempuan disampingkupun menyadarkanku dari lamunanku, ternyata pesawat yang kami tunggu-tunggu menuju Jakarta telah tiba, akupun mengangkat koperku kepesawat, hingga aku terbang menunuju kampusku, tempat dimana aku akan meraih mimpi dan cita-citaku.

“BERSAMBUNG”

3 komentar:

  1. Hehehh.makasi lay" ayooo kamu mana ceritanya" ditunggu ya"""" ayo bidik misi harus bisa menginspirasi!

    BalasHapus
  2. Keren .. sampai nangis ..semoga tahun ini saya bisa sepertimu..

    BalasHapus