Minggu, 13 April 2014

KEMBALI DALAM SUJUDMU



D
arah kelelakiannya membuncah, dinginnya kota malang serta indahnya tubuh wanita dihadapanya menambah gairahnya saja, belum lagi ajakan manja dan gerak nakal yang dipertontonkan wanita itu menambah panas suasana, akal sehatnyapun hilang, ia mendekat dan mulai mengikuti permainan, ia mulai bercumbu mesra, menikmati sebagian tubuh wanita yang belum halal baginya, menikmatinya dan mulai merasakannya, perlahan tapi pasti, ia merasakan indahnya santapan malam itu, ia melakukannya secara perlahan, terus-menerus, semakin dalam, dan semakin larut dalam pelukan wanita tersebut.
Adegan itu berjalan beberapa saat, dengan gaya dan cara-cara yang berbeda, mereka terus menciptakan kenikmatan demi kenikmatan yang semu dan sesaat, namun entah kenapa, ketika ia hendak menuntaskan tugasnya, merenggut mahkota paling berharga milik wanita itu, tiba-tiba saja ada sosok yang hadir dipelupuk matanya,  sosok yang tak asing baginya, sosok yang begitu ia kenal, sosok seorang ibuk yang teduh dan penuh kasih, ibuk yang selama ini membimbing dan menasehatinya, wajah itupun semakin jelas hadir dipelupuk matanya dan tampak dari rona wajah itu begitu bersedih melihat anaknya melakukan tindakan yang dilarang agama.
Pemuda itu beristigfar, Astagfirullah..... Terbesit dalam hatinya penyesalan yang mendalam, apa yang telah aku lakukan ya robb, ampunilah dosaku (rintih pemuda itu), ia melompat dari atas tubuh wanita itu, dan berusaha menghindari ajakannya. Namun tidak mudah, wanita itu tidak tinggal diam, ia memaksa pemuda itu untuk menuntaskan semuanya, wanita itu menggenggam erat tangan pemuda itu dan memaksanya untuk tetap bersamanya.
Sosok ibuk yang sholeha, yang hari-harinya penuh dengan lautan tasbih terus menerawang diwajah pemuda itu, nasehat indah ibuknya agar kelak dirinya menjadi anak yang  sholeh terus terekam dimemori otaknya, namun sekarang ia terhimpit, terbelenggu oleh pergaulan bebas yang mengantarkannya menuju jalan dosa ini, ia sudah terlanjur mengikuti ajakan wanita yang merupakan kekasih barunya dikampus biru itu.
Saat ia mulai ragu dan bimbang, setan terus memainkannya, menggodanya dan membisikkan kenikmatan-kenikmatan yang tiada tara yang akan ia terima, ajakan untuk berzinah terus dikumandangkan wanita itu, wanita itupun pasrah dan merasa bahagia kalau mahkotanya direnggut pemuda sepertinya, tidak akan ada tuntutan tanggung jawab apapun, selain wanita itu menanti kenikmatan dari pemuda yang ia cintai, batin pemuda itu bergejolak, hatinya bergemuruh, ia lelaki normal yang darahnya mendidih melihat keindahan tubuh wanita seperti itu.
Tapi lagi-lagi sosok ibuk terus membayang, rasanya ia tidak sanggup melanggar nasehat-nasehat ibuknya, hatinyapun perlahan luluh, matanya basah, ia melihat betapa bejat dirinya, ia sadar telah mengkhianati kepercayaan sang ibuk dan telah banyak melanggar perintah Tuhannya. ia menarik tangannya secara paksa yang sejak tadi digenggam wanita itu, ia kembali memakai baju dan  meninggalkan wanita tersebut.
Aji tersadar, ia telah terlampau jauh dan semakin dalam terkubur dalam kubangan dosa ini, terseret oleh arus kebebasan yang telah dipilihnya, ia mulai sadar ini bukan jalan yang diinginkannya, jalan para pendosa dan dimurkai Tuhannya, tapi ia juga sadar tidak mudah keluar dari jalan yang telah lama menjadi bagian dari hidupnya itu. 
Aji tetunduk malu, malu akan perbuatannya selama ini, betapa ia telah banyak berubah, dari anak baik-baik menjadi anak yang nakal dan begitu menentang orang tua, semenjak ia masuk  SMA dipulau garam madura, sampai kuliah dikota apple ini tidak terhitung lagi dosa-dosa yang telah diperbuatnya, Aji terkekang oleh kebebasan yang ia idam-idamkan sejak dulu.
Aji memang telah banyak berubah, ia tidak peduli lagi dengan aturan-aturan yang selama ini membelenggunya, Aji bosan dengan kekangan bapaknya yang begitu otoriter, yang mendiktenya dalam setiap tindakan dan mengatur semua pergaulannya.
 Aji tak terima perlakuan yang berlebihan itu, ia ingin seperti teman-temannya yang lain, bebas menentukan pilihan, cukuplah selama ini ia diatur dan dikekang, sekarang  ia merasa sudah dewasa dan ingin bebas dan lekas keluar dari aturan keluarga yang begitu memenjarakannya, namun keinginannya tak terpenuhi, dibatasi oleh tembok-tembok raksasa yang ciptakan sang bapak sehingga ia berontak dan mulai melawan.
Puncaknya setelah ia hidup di kota Apple ini, ia merasa bebas bagaikan burung lepas, jauh dari pantauan orang tua dan sanak saudara, tak ada lagi aturan bapak dan ibuknya, ia bebas menentukan siapa temannya, dan bebas melakukan hal-hal yang dilarang agama, semua tergantung dirinya, dialah pemilik kebebasan itu, apapun bisa ia lakukan, melanjutkan kebebasan masa SMA yang sedikit tertunda oleh aturan–aturan bapak dan ibuknya.
ketika masa SMA diskotik, minuman keras, merupakan sesuatu yang diharamkan baginya, kini semuanya menjadi halal dan takkan ada yang melarangnya, bebas tanpa batas.
Kehidupan barunyapun dimulai di kampus ternama itu, tentu saja banyak anak-anak orang kaya disana yang hedonis dan konsumtif, bergaya dan penuh dengan barang-barang mewah, keinginannyapun tepat ia menemukan teman-teman yang menawarkan kebebasan, pamer kekayaan dan penuh dengan kehidupan dunia malam, merekapun telah terkotak-kotakkan oleh kehidupan yang mereka ciptakan sendiri, menjadi anak-anak yang eksklusif dan terpandang dikampus.
Kini semua keinginannya telah tercapai, Aji telah menuntaskan pembrontakannya dan memenuhi semua keinginannya, club malam dan semua yang ada didalamnya telah menjadi bagian dari hidupnya. Bertahun –tahun ia menikmati hidup seperti itu, hidup tanpa ada arah dan tujuan. Tapi tetap saja Aji tidak bahagia, hatinya tak pernah damai, pikirannya kacau, padahal semua kebutuhannya terpenuhi, kebebasannya tercapai, hatinyapun terus bergejolak, meronta menderita, sehingga ia mulai bertanya dimanakah letak kebahagian itu?  kenapa semuanya terasa hambar dan hidup begitu gersang,  selama ini  ia selalu berasumsi bahwa kebahagian itu ada pada kebebasan itu sendiri, namun ternyata ia salah, karena ia tidak menemukannya disana, bahkan selalu saja ia menyesal dan tersiksa setelah melakukan hal-hal yang dilarang agama.
Belum lagi teman-teman yang ia banggakan dikampus itu tidak lebih dari teman sesaat, yang ada saat mereka butuh saja, sangat materialistis dan hanya ingin berpoya- poya saja, perlahan Aji mulai sadar ternyata mereka ada hanya untuk uang dan materi semata, belum lagi pengaruh buruk yang telah ia terima, tanpa sadar ternyata ia telah terseret jauh dan semakin dalam, semua itu semakin menguatkan tekadnya  untuk segera berhenti dan keluar dari kehidupan yang penuh dosa ini.
Rasanya ia ingin kembali, kembali menjadi Aji yang dulu, ketika ia masih SD dan SMP, menjadi Aji yang baik, sholeh dan menurut kepada orang tua, ia ingin kembali kepangkuan bapak dan ibuknya, kembali mereguk kasih sayang mereka yang telah lama hilang, namun ia takut, takut akan ditinggalkan teman-temannya, takut akan ditertawakan oleh genknya, takut sendiri dan tak ada yang mau menemani, hatinya bergemuruh dan bimbang,
saat-saat seperti itu, saat hening menyelimuti, ketika dingin kota malang menghantui, ia mulai mengetuk pintu Tuhan, ia bangun menatap malam dan menghadap Robbnya, bertahajjud dan memohon petunjukNYA, ia sadar dirinya begitu hina dan tak pantas menghadap Tuhan, namun ia tetap  memohon petunjuk dan mohon  ampun atas segala dosa-dosa yang telah berlalu, dosa kepada bapak dan ibuknya, dosa atas semua pergaulan malamnya.
Dalam setiap rukuk dan sujudnya berlinang air mata, mengingat semua kesalahan yang tiada tara, dalam do’a ia merintih, dalam malam ia meminta dekapan dari Tuhan, malam itu semua keburukan yang pernah ia lakukan termasuk dosa kepada bapak dan ibunya mulai diputar ulang dimomerinya, ia seperti menonton bioskop layar lebar yang menceritakan semua kehidupannya, dialah aktor dan pemain  utamanya.
Ia mulai melihat sosok anak kecil yang soleh, yang begitu menurut kepada bapak dan ibunya, ia melihat kebiasaan sang bapak yang memegang erat tangannya dan menuntunnya kemasjid untuk melaksanakan sholat berjamaah, ia melihat betapa  dekatnya ia dengan bapaknya kala itu, melihat masa-masa SD dimana ia begitu disayang dan dimanjakan, apapun yang ia inginkan selalu dipenuhi, rekaman kebahagiaan itu terus berputar hingga pada suatu peristiwa yang mengubah segalanya, saat ia beranjak dewasa dan mulai mengikuti kehidupan teman-temannya.
Adengan itu terus berlanjut hingga ia melihat dirinya dan genk venos kebanggaanya, genk yang selama ini ia puja, yang memberikan kehormatan penuh kepadanya, menjadikannya sebagai orang yang dihormati dan dipuja, ia juga  menyaksikan club malam yang selalu mereka jadikan tempat untuk berpesta pora, minum-minuman keras dan semua kehidupannya yang berbau dunia malam.
 Melihat perubahan buruk yang ada dalam diri Aji, membuat bapaknya geram, dan sangat marah sehingga ia melarang Aji bergaul dengan teman-temannya, Aji yang merasa sudah dewasa tidak terima larangan bapaknya, ia berontak dan tetap bergaul dengan teman-temanya, yang berujung pada adu mulut dan perang antara keduanya, semenjak kejadian itu Aji tidak pernah lagi harmonis dengan bapaknya, bahkan ia malas bicara dengannya.
 Ibuknya selalu saja menjadi objek yang disalahkan sang bapak, dituding sebagai  seorang ibuk yang tidak becus mengurusi anak, terlalu memanjakan dan menuruti semua keinginan anaknya, terkadang Aji sakit hati mendengar tudingan bapaknya itu, namun ia lebih memilih untuk diam. Ia sadar dirinyalah yang sering menjadi pemicu pertengkaran diantara keduanya,  ketika sudah seperti itu satu-satunya tempat pelariannya adalah diskotik, bahkan ia masih ingat sangat ketika dirinya pernah dibopong teman-temannya pulang kerumahnya karena terlalu banyak minum dan tak sadarkan diri, tentu saja hal itu membuat malu keluarga dan menambah panas suasana.
Ia melihat tangis yang membuncah dan kesedihan yang mendalam tampak dari wajah ibuknya, ia melihat dengan jelas kecintaan dan kasih sayang yang tulus dari seorang yang sudah lama ia tidak mau bicara kepadanya, dalam diam masih ada cinta yang terpendam, dalam benci masih ada rindu yang bersemi, rekaman demi rekaman itu semakin memohok dan memojokkanya betapa ia begitu durhaka selama ini.
Padahal semua fasilitas dan kemewahan yang ia terima selama ini berasal dari mereka, merekalah yang berjuang banting tulang demi bisa mewujudkan cita-citanya, terutama sang ibuk, yang bekerja mati-matian bahkan tidak bisa tidur nyenyak memikirkan bagaimana agar usahanya lancar demi membiayai dan memenuhi kebutuhan anak-anaknya, hatinyapun terenyuh, luluh dan hanya air mata yang bisa melukiskan semuanya saat itu.
Dalam hatinya ia merintih, berharap kepada Tuhan agar ia diberi kesempatan untuk memperbaiki diri dan bisa membahagiakan kedua orang tuanya, memberi kebanggaan pada mereka dan meyakinkan mereka bahwa ia bisa menjadi anak yang dibanggakan.
Namun ternyata tidak mudah, banyak hal yang harus dikorbankan, banyak derita yang harus ditanggung, belum lagi banyaknya cobaan yang datang silih berganti, ditinggalkan teman-teman, dicibir bahkan dihina, dikatakan manusia yang mati rasa, tapi seiring dengan berjalannya waktu, Kini masa jahiliyah itu telah berlalu, Aji mengubur semua kenangan buruk dan dunia malamnya, perlahan iapun kembali meraih apa yang sempat dulu hilang, kini ia dipercaya keluarga, ketika pulang kerumah ia tidak lagi sibuk bermain bersama genk kebanggaannya, ia membantu ibuknya berdagang, menunjukkan dedikasinya sebagai anak yang pantas dibanggakan, disela – sela kehidupannya dirumah ia mulai bicara dari hati-kehati dengan bapaknya, mengikuti keinginannya dan berusaha mewujudkan mimpi-mimpinya.
Kini semuanya berjalan dengan baik, hatinyapun damai, pikirannya tenang, mesti sering dikucilkan teman-temannya, dicibir dan bahkan ditinggalkan,  ora opo-opo karena ia bahagia, bahagia dalam pelukan orang tuanya, bahagia dalam dekapan Tuhannya. Ia sadar jalan ini tidak mudah penuh cobaan dan aral melintang, tapi ia tetap bahagia karena inilah jalan hidup yang ia pilih, jalan yang membuat banyak orang iri bahkan benci, yang membuat para bidadari surga tak bersabar untuk bertemu dengannya, jalan para nabi dan rasul, jalan menuju keselamatan dunia dan akhirat.