Kisah di ujung senja
Suara
lantunan ayat suci Al-Quran bergema di Negeri ini, Bersaut-sautan satu sama
lainnya, terdengar dari masjid-masjid di kota ini.terlihat marbot masjid pun
antusias membersihkan tempat wudhu serta para jama’ah yang mulai berdatangan.
Subuh
yang berkah, terlihat hamba-hamba allah yang ingin megabdikan diri pada
tuhannya, di sepanjang jalan-jalan kecil negeri itu, ibu-ibu sudah berjejer
seperti semut yang berjajar rapi, tak terkecuali dengan nenek tua yang bernama mar’ah, ia yang sudah berumur tujuh puluh lima
tahun, akan tetapi semangatnya masih membara untuk berjama’ah ke masjid, walaupun
jarak tempuh dari rumahnya hampir 500 m.
Dengan
di bantu cucunya rini, sang nenek selalu datang tepat waktu, ia biasanya datang
lebih awal dari jama’ah lainya, ia selalu sholat di shaf paling depan agar seusai sholat ia bisa leluasa
mendengar ceramahnya ust fatih, seperti biasa dimasjid yang menjadi kebanggaan
warga ciputat itu sesudah sholat subuh selalu diadakan ceramah yang biasanya di
isi oleh ust Fatih dan ust Fikri, iniah yang membuat si nenek selalu ingin sholat di shaf paling depan.
Banyak
yang simpati dan benar-benar salut
dengan semangatnya si nenek, bahkan para
pemuda di kota itupun merasa malu
kepadanya yang semangat keagamannya
tiada tara, walau Ia seorang nenek yang
sudah tua renta, namun semangatnya
melebihi para pemuda.
Namun
pagi ini kelihatan berbeda nek mar’ah
tidak seperti bisanya, ia datang ketika
azan sudah berkumandang, dan langkahnya tak setegas hari-hari sebelumnya, wajahnya Nampak pucat, dan badannya kelihatan
begitu letih, ia memasuki masjid dan langsung mengambil barisan di belakang,
sejadah yang bisa di isi olehnya sudah ada yang mengisi karena sholat sudah mau
di mulai, ibu-ibu jama’ah juga merasa heran kenapa kali ini nek mar’ah terlambat,
namun mereka belum sempat menanyakannya karena imam sudah memulai takbir.
Seusai
sholat subuh ust fikri langsung memberikan ceramah, kali ini ust fikri yang
mengisi ceramah dan membawakan tema mengenai ikhlas beribadah, dan kesabaran
dalam menjalankannya. semua jama’ah dibuat
kagum dan semangat lagi dalam menjalankan ibadah, para jama’ah sangat
terhibur karena ceramah ust fikri diselingi
dengan kisah-kisah lucu dan menggelikan.
Namun
nek mar’ah tetap diam, ia tidak seantusias biasanya, ia juga tidak bertanya
pagi ini, biasanya dialah yang paling
banyak bertanya tentang perbagai problematika kehidupan yang dialaminya, bahkan
terkadang ibu-ibu yang lain merasa jengkel karena banyaknya pertanyaan yang di
ajukan si nenek tua itu, hingga ibu-ibu yang lain tidak kebagian waktu untuk
bertanya.
Aktivitas
di masjid pun selesai setelah ust Fikri menutup acara dengan do’a, ibu-ibu jama’ah
ada yang lansung pulang, dan ada pula yang masih di masjid menghadap ust Fikri,
mereka menanyakan hal-hal yang urgen
yang tidak mungkin di bahas di forum umum menurut mereka.
Sedangakan
si nenek hanya berdiam sambil sesekali mulutnya melafazdkan zikir kepada allah, Dan air matanya mulai
bercucuran ibu-ibu jama’ah yang masih di masjid makin penasaran dengan keadaan
yang menimpa nenek yang hidup sebatang kara itu, namun mereka takut
menanyakannya.
Bu
ida yang biasanya paling dekata nek mar’ah mulai menanyakan hal apa yang
menimpa nek mar’ah, namun nenek tua itu tetap diam, lama sekali bu Ida menunggu
jawaban dari nek mar’ah, namun jawaban
yang ia dapatkan hanya lah kucuran air mata, hingga bu Ida juga ikut-ikutan menangis.
Dengan
terbata-bata si nenek mulai menceritakan kisahnya, kisah beberapa puluh tahun
yang lalu, kisah yang sudah ia kubur dalam-dalam, sebenarnya subuh ini seperti
biasanya ia sudah siap berangkat ke
masjid sebelum azan berkumandang, namun ketika bu mar’ah membuka pintu gubuknya tiba-tiba sosok lelaki
tua hadir di hadapannya, ia heran siapa kakek tua yang menghalangi jalannya,
setelah lama berdiri dan ia terus
mengamati sosok lelaki tua itu.
Lama-kelamaan
sosok lelaki itu mulai terekam memorinya, seakan-akan ia sangat kenal dengan
sosok lelaki itu, ia pun memperjelas pandangannya, dan beberapa kali mengucek-ngucek
matanya, ia ragu apa benar sosok yang hadir di hadapannya ialah suaminya?.
Suami
yang sangat di cintainya, yang menghilang tiga puluh lima tahun yang silam,
suami yang tega meninggalkannya ketika ia tergeletak sakit parah demi wanita
lain, yang ia mengikat janji suci
denganya, namun dikhianati leleki itu.
Lelaki
itupun mulai berkata, “ mar’ah’ ini aku asep suamimu, maafkan aku mar’ah, aku telah banyak bersalah
kepadamu, aku telah tega meninggalkanmu ketika kamu dalam keadaan sakit parah,
aku rela meninggalkan mu demi wanita yang tidak seharusnya aku membagi cinta
padanya. Suara lelaki itu terdengar parau.
Aku
sadar sekian puluh tahun aku meninggalkan mu, namun selama itu juga rasa
bersalah ini menghantui diriku, aku tidak bisa membohongi diriku sendiri, kalau
cinta sejatiku hanyalah kamu, kini aku tinggal sebatang kara, dan selama dua
puluh tahun ini aku juga hidup di gubuk yang hampir sama dengan mu. Cerita
lelaki tua itu.
Tepatnya
dua puluh tahun yang lalu, keluarga kami ditimpa musibah, rumah kami kebakaran,
semuanya habis, fita dan kedua anak kami juga tidak terselamatkan, sejak saat
itulah aku hidup sendirian dan tinggal gubuk kecil di bawah kolong jembatan.
Aku
ingin menjelaskannya sekarang mar’ah, aku menikahi fita semata-mata karenamu
juga, karena waktu itu aku tidak punya uang untuk membiayai pengobatanmu, maka
fita sahabatmu sendiri yang ketika SMA dulu sama-sama menyukaiku memberikan
tawaran, kalau dia akan membiayai semua pengobatannmu asalkan akau harus
menikahinya, dan menghilang dari kehidupanmu selamnya.
Aku
sangat menyayangimu mar’ah, aku tidak ingin kamu meninggal, makanya aku
melakukan ini semua, dan mengatakan pada semua orang, kalau aku meninggalkanmu
karena kamu sudah sakit parah dan tidak berguna lagi, dan aku bilang pada semua
orang kalau aku sudah punya istri sebagai penggantimu.
Lelaki tua itupun menangis sesunggukan.
Nek
mar’ah hanya bisa menangis, ia tak berdaya, ia hanya terus mengeluarkan
bulir-bulir air matanya, betapa kecewanya ia selama ini, ketika mendengar suaminya meninggalkannya karena
keadan sakit yang dideritanya, dan yang paling menyakitkan lagi ketika ia mengetahui bahwa
istri suaminya adakah teman akrabnya
sendiri.
Dalam
hati ia tidak akan pernah memaafkan mereka berdua selamanya, dan rasa benci itu
telah mendarah daging selama tiga puluh lima tahun, kini sosok lelaki yang dulu
paling di cintainya datang dan mengungkap sejarah masa lampau, ia datang ketika rasa cinta itu
telah mati, ketika ia telah lupa bahwa ia pernah punya suami.
Tak
lama kemudian nek marah angkat bicara, rasa kekecewannya ia tumpahkan semuanya,
sumpah serapah pun ia keluarkan, bahwa ia tidak akan pernah memaafkan suaminya,
kisah sebelum subuh itupun ditutup dengan pengusiran, nenek tua itu mengusir
suaminya yang sudah tua renta, ia sama sekali tidak mengizinknnya masuk,
mungkin karena sakit hati yang sudah puluhan tahun yang dideritanya, membuatnya
jadi wanita berhati batu, walau dalam hati kecilnya ia masih sangat mencintai suaminya, ia masih
ingin mencium keningnya untuk yang terakhir kalinya, namun rasa kekecewanya
membuta nya tak melihat kesungguhan suaminya untuk minta maaf.
Suaminya
layaknya gelandangan, memakai pakaian yang kumuh, dan membawa pakain kumuh nya
yang di balut sarung sholat. Ia meninggalkan rumah istrinya dengan linangan air
mata, ia merasa begitu bersalah karena tidak bisa membuat mar’ah bahagia.
Ibu-ibu
yang mendengar kisahnya Nek mar’ah tak bisa membendung air mata, mereka semua
menangis dan kasian akan peristiwa yang menimpa nek mar’ah, ibu-ibu jama’ah
masjid itupun memeluk nek mar’ah bergiliran, mereka menunjukkan rasa
simpatinya, dan memberi nasehat kalau suaminya datang lagi agar ia
memaafkannya.
Setelah
menceritakan semuanya nenek tua itupun merasa lebih lega, dan dalam hati ia
mulai memaafkan suaminya, ketika masih dalam keadaan haru, salah satu pengurus
masjid lari kedalam masjid begitu cepatnya, spontan ibu-ibu pengajian kaget dan
bertanya apa yang terjadi, si pengurus masjid pun bercerita kalau ada lelaki
tua yang tertabrak bus kopaja di jalan belokan kira-kira 200 m dari masjid,
spontan ibu-ibu yang ada di masjid langsung menuju kesana, tak terkecuali
dengan si nenek tua, sesampai di tempat tak ada satupun yang mengenal jasad
lelaki itu, bahkan beberapa dari mereka mengataka kalau itu hanyalah pemulung
biasa, yang banyak meresahkan warga.
Nek
mar’ah mulai mendekat dan melihat sosok yang tak berdaya itu, nenek tua itupun spontan berteriak dan menangis sejadi-jadinya
ketika ia melihat sosok yang ada di hadapnnya adalah suaminya, yang belum
sempat ia memberikan maaf baginya, kini sosok lelaki yang ada di hadapannya
sudah tak berdaya, seluruh tubuhnya di lumuri darah dan beberapa tulangnya
patah.
Si
nenek hanya bisa meratapi nasibnya, ia hanya bisa menagis, begitu juga dengan
warga yang menyaksikannya, apalagi mereka yang mengetahui kisah dan kejadian yang
sebenarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar