D
|
arah kelelakiannya
membuncah, dinginnya kota malang serta indahnya tubuh wanita dihadapanya menambah
gairahnya saja, belum lagi ajakan manja dan gerak nakal yang dipertontonkan
wanita itu menambah panas suasana, akal sehatnyapun hilang, ia mendekat dan
mulai mengikuti permainan, ia mulai bercumbu mesra, menikmati sebagian tubuh
wanita yang belum halal baginya, menikmatinya dan mulai merasakannya, perlahan tapi
pasti, ia merasakan indahnya santapan malam itu, ia melakukannya secara
perlahan, terus-menerus, semakin dalam, dan semakin larut dalam pelukan wanita
tersebut.
Adegan
itu berjalan beberapa saat, dengan gaya dan cara-cara yang berbeda, mereka
terus menciptakan kenikmatan demi kenikmatan yang semu dan sesaat, namun entah
kenapa, ketika ia hendak menuntaskan tugasnya, merenggut mahkota paling
berharga milik wanita itu, tiba-tiba saja ada sosok yang hadir dipelupuk matanya, sosok yang tak asing baginya, sosok yang
begitu ia kenal, sosok seorang ibuk yang teduh dan penuh kasih, ibuk yang
selama ini membimbing dan menasehatinya, wajah itupun semakin jelas hadir
dipelupuk matanya dan tampak dari rona wajah itu begitu bersedih melihat
anaknya melakukan tindakan yang dilarang agama.
Pemuda
itu beristigfar, Astagfirullah..... Terbesit dalam hatinya penyesalan yang
mendalam, apa yang telah aku lakukan ya robb, ampunilah dosaku (rintih pemuda
itu), ia melompat dari atas tubuh wanita itu, dan berusaha menghindari
ajakannya. Namun tidak mudah, wanita itu tidak tinggal diam, ia memaksa pemuda
itu untuk menuntaskan semuanya, wanita itu menggenggam erat tangan pemuda itu
dan memaksanya untuk tetap bersamanya.
Sosok
ibuk yang sholeha, yang hari-harinya penuh dengan lautan tasbih terus
menerawang diwajah pemuda itu, nasehat indah ibuknya agar kelak dirinya menjadi
anak yang sholeh terus terekam dimemori
otaknya, namun sekarang ia terhimpit, terbelenggu oleh pergaulan bebas yang
mengantarkannya menuju jalan dosa ini, ia sudah terlanjur mengikuti ajakan wanita
yang merupakan kekasih barunya dikampus biru itu.
Saat
ia mulai ragu dan bimbang, setan terus memainkannya, menggodanya dan
membisikkan kenikmatan-kenikmatan yang tiada tara yang akan ia terima, ajakan
untuk berzinah terus dikumandangkan wanita itu, wanita itupun pasrah dan merasa
bahagia kalau mahkotanya direnggut pemuda sepertinya, tidak akan ada tuntutan
tanggung jawab apapun, selain wanita itu menanti kenikmatan dari pemuda yang ia
cintai, batin pemuda itu bergejolak, hatinya bergemuruh, ia lelaki normal yang
darahnya mendidih melihat keindahan tubuh wanita seperti itu.
Tapi
lagi-lagi sosok ibuk terus membayang, rasanya ia tidak sanggup melanggar
nasehat-nasehat ibuknya, hatinyapun perlahan luluh, matanya basah, ia melihat
betapa bejat dirinya, ia sadar telah mengkhianati kepercayaan sang ibuk dan
telah banyak melanggar perintah Tuhannya. ia menarik tangannya secara paksa
yang sejak tadi digenggam wanita itu, ia kembali memakai baju dan meninggalkan wanita tersebut.
Aji
tersadar, ia telah terlampau jauh dan semakin dalam terkubur dalam kubangan
dosa ini, terseret oleh arus kebebasan yang telah dipilihnya, ia mulai sadar
ini bukan jalan yang diinginkannya, jalan para pendosa dan dimurkai Tuhannya,
tapi ia juga sadar tidak mudah keluar dari jalan yang telah lama menjadi bagian
dari hidupnya itu.
Aji
tetunduk malu, malu akan perbuatannya selama ini, betapa ia telah banyak
berubah, dari anak baik-baik menjadi anak yang nakal dan begitu menentang orang
tua, semenjak ia masuk SMA dipulau garam
madura, sampai kuliah dikota apple ini tidak terhitung lagi dosa-dosa yang
telah diperbuatnya, Aji terkekang oleh kebebasan yang ia idam-idamkan sejak dulu.
Aji
memang telah banyak berubah, ia tidak peduli lagi dengan aturan-aturan yang
selama ini membelenggunya, Aji bosan dengan kekangan bapaknya yang begitu otoriter,
yang mendiktenya dalam setiap tindakan dan mengatur semua pergaulannya.
Aji tak terima perlakuan yang berlebihan itu,
ia ingin seperti teman-temannya yang lain, bebas menentukan pilihan, cukuplah
selama ini ia diatur dan dikekang, sekarang ia merasa sudah dewasa dan ingin bebas dan
lekas keluar dari aturan keluarga yang begitu memenjarakannya, namun
keinginannya tak terpenuhi, dibatasi oleh tembok-tembok raksasa yang ciptakan
sang bapak sehingga ia berontak dan mulai melawan.
Puncaknya
setelah ia hidup di kota Apple ini, ia merasa bebas bagaikan burung lepas, jauh
dari pantauan orang tua dan sanak saudara, tak ada lagi aturan bapak dan
ibuknya, ia bebas menentukan siapa temannya, dan bebas melakukan hal-hal yang
dilarang agama, semua tergantung dirinya, dialah pemilik kebebasan itu, apapun
bisa ia lakukan, melanjutkan kebebasan masa SMA yang sedikit tertunda oleh
aturan–aturan bapak dan ibuknya.
ketika
masa SMA diskotik, minuman keras, merupakan sesuatu yang diharamkan baginya,
kini semuanya menjadi halal dan takkan ada yang melarangnya, bebas tanpa batas.
Kehidupan
barunyapun dimulai di kampus ternama itu, tentu saja banyak anak-anak orang
kaya disana yang hedonis dan konsumtif, bergaya dan penuh dengan barang-barang
mewah, keinginannyapun tepat ia menemukan teman-teman yang menawarkan
kebebasan, pamer kekayaan dan penuh dengan kehidupan dunia malam, merekapun
telah terkotak-kotakkan oleh kehidupan yang mereka ciptakan sendiri, menjadi
anak-anak yang eksklusif dan terpandang dikampus.
Kini
semua keinginannya telah tercapai, Aji telah menuntaskan pembrontakannya dan
memenuhi semua keinginannya, club malam dan semua yang ada didalamnya telah
menjadi bagian dari hidupnya. Bertahun –tahun ia menikmati hidup seperti itu,
hidup tanpa ada arah dan tujuan. Tapi tetap saja Aji tidak bahagia, hatinya tak
pernah damai, pikirannya kacau, padahal semua kebutuhannya terpenuhi,
kebebasannya tercapai, hatinyapun terus bergejolak, meronta menderita, sehingga
ia mulai bertanya dimanakah letak kebahagian itu? kenapa semuanya terasa hambar dan hidup begitu
gersang, selama ini ia selalu berasumsi bahwa kebahagian itu ada
pada kebebasan itu sendiri, namun ternyata ia salah, karena ia tidak
menemukannya disana, bahkan selalu saja ia menyesal dan tersiksa setelah melakukan
hal-hal yang dilarang agama.
Belum
lagi teman-teman yang ia banggakan dikampus itu tidak lebih dari teman sesaat,
yang ada saat mereka butuh saja, sangat materialistis dan hanya ingin berpoya-
poya saja, perlahan Aji mulai sadar ternyata mereka ada hanya untuk uang dan
materi semata, belum lagi pengaruh buruk yang telah ia terima, tanpa sadar
ternyata ia telah terseret jauh dan semakin dalam, semua itu semakin menguatkan
tekadnya untuk segera berhenti dan
keluar dari kehidupan yang penuh dosa ini.
Rasanya
ia ingin kembali, kembali menjadi Aji yang dulu, ketika ia masih SD dan SMP,
menjadi Aji yang baik, sholeh dan menurut kepada orang tua, ia ingin kembali kepangkuan
bapak dan ibuknya, kembali mereguk kasih sayang mereka yang telah lama hilang, namun
ia takut, takut akan ditinggalkan teman-temannya, takut akan ditertawakan oleh
genknya, takut sendiri dan tak ada yang mau menemani, hatinya bergemuruh dan bimbang,
saat-saat
seperti itu, saat hening menyelimuti, ketika dingin kota malang menghantui, ia
mulai mengetuk pintu Tuhan, ia bangun menatap malam dan menghadap Robbnya,
bertahajjud dan memohon petunjukNYA, ia sadar dirinya begitu hina dan tak
pantas menghadap Tuhan, namun ia tetap memohon petunjuk dan mohon ampun atas segala dosa-dosa yang telah
berlalu, dosa kepada bapak dan ibuknya, dosa atas semua pergaulan malamnya.
Dalam
setiap rukuk dan sujudnya berlinang air mata, mengingat semua kesalahan yang
tiada tara, dalam do’a ia merintih, dalam malam ia meminta dekapan dari Tuhan,
malam itu semua keburukan yang pernah ia lakukan termasuk dosa kepada bapak dan
ibunya mulai diputar ulang dimomerinya, ia seperti menonton bioskop layar lebar
yang menceritakan semua kehidupannya, dialah aktor dan pemain utamanya.
Ia
mulai melihat sosok anak kecil yang soleh, yang begitu menurut kepada bapak dan
ibunya, ia melihat kebiasaan sang bapak yang memegang erat tangannya dan
menuntunnya kemasjid untuk melaksanakan sholat berjamaah, ia melihat betapa dekatnya ia dengan bapaknya kala itu, melihat
masa-masa SD dimana ia begitu disayang dan dimanjakan, apapun yang ia inginkan
selalu dipenuhi, rekaman kebahagiaan itu terus berputar hingga pada suatu
peristiwa yang mengubah segalanya, saat ia beranjak dewasa dan mulai mengikuti
kehidupan teman-temannya.
Adengan
itu terus berlanjut hingga ia melihat dirinya dan genk venos kebanggaanya, genk
yang selama ini ia puja, yang memberikan kehormatan penuh kepadanya,
menjadikannya sebagai orang yang dihormati dan dipuja, ia juga menyaksikan club malam yang selalu mereka
jadikan tempat untuk berpesta pora, minum-minuman keras dan semua kehidupannya
yang berbau dunia malam.
Melihat perubahan buruk yang ada dalam diri
Aji, membuat bapaknya geram, dan sangat marah sehingga ia melarang Aji bergaul
dengan teman-temannya, Aji yang merasa sudah dewasa tidak terima larangan
bapaknya, ia berontak dan tetap bergaul dengan teman-temanya, yang berujung
pada adu mulut dan perang antara keduanya, semenjak kejadian itu Aji tidak
pernah lagi harmonis dengan bapaknya, bahkan ia malas bicara dengannya.
Ibuknya selalu saja menjadi objek yang
disalahkan sang bapak, dituding sebagai seorang ibuk yang tidak becus mengurusi anak,
terlalu memanjakan dan menuruti semua keinginan anaknya, terkadang Aji sakit
hati mendengar tudingan bapaknya itu, namun ia lebih memilih untuk diam. Ia
sadar dirinyalah yang sering menjadi pemicu pertengkaran diantara
keduanya, ketika sudah seperti itu
satu-satunya tempat pelariannya adalah diskotik, bahkan ia masih ingat sangat
ketika dirinya pernah dibopong teman-temannya pulang kerumahnya karena terlalu
banyak minum dan tak sadarkan diri, tentu saja hal itu membuat malu keluarga
dan menambah panas suasana.
Ia
melihat tangis yang membuncah dan kesedihan yang mendalam tampak dari wajah ibuknya,
ia melihat dengan jelas kecintaan dan kasih sayang yang tulus dari seorang yang
sudah lama ia tidak mau bicara kepadanya, dalam diam masih ada cinta yang
terpendam, dalam benci masih ada rindu yang bersemi, rekaman demi rekaman itu
semakin memohok dan memojokkanya betapa ia begitu durhaka selama ini.
Padahal
semua fasilitas dan kemewahan yang ia terima selama ini berasal dari mereka,
merekalah yang berjuang banting tulang demi bisa mewujudkan cita-citanya,
terutama sang ibuk, yang bekerja mati-matian bahkan tidak bisa tidur nyenyak
memikirkan bagaimana agar usahanya lancar demi membiayai dan memenuhi kebutuhan
anak-anaknya, hatinyapun terenyuh, luluh dan hanya air mata yang bisa
melukiskan semuanya saat itu.
Dalam
hatinya ia merintih, berharap kepada Tuhan agar ia diberi kesempatan untuk memperbaiki
diri dan bisa membahagiakan kedua orang tuanya, memberi kebanggaan pada mereka
dan meyakinkan mereka bahwa ia bisa menjadi anak yang dibanggakan.
Namun
ternyata tidak mudah, banyak hal yang harus dikorbankan, banyak derita yang
harus ditanggung, belum lagi banyaknya cobaan yang datang silih berganti,
ditinggalkan teman-teman, dicibir bahkan dihina, dikatakan manusia yang mati
rasa, tapi seiring dengan berjalannya waktu, Kini masa jahiliyah itu telah
berlalu, Aji mengubur semua kenangan buruk dan dunia malamnya, perlahan iapun
kembali meraih apa yang sempat dulu hilang, kini ia dipercaya keluarga, ketika
pulang kerumah ia tidak lagi sibuk bermain bersama genk kebanggaannya, ia
membantu ibuknya berdagang, menunjukkan dedikasinya sebagai anak yang pantas
dibanggakan, disela – sela kehidupannya dirumah ia mulai bicara dari
hati-kehati dengan bapaknya, mengikuti keinginannya dan berusaha mewujudkan
mimpi-mimpinya.
Kini
semuanya berjalan dengan baik, hatinyapun damai, pikirannya tenang, mesti sering
dikucilkan teman-temannya, dicibir dan bahkan ditinggalkan, ora opo-opo karena ia bahagia, bahagia
dalam pelukan orang tuanya, bahagia dalam dekapan Tuhannya. Ia sadar jalan ini
tidak mudah penuh cobaan dan aral melintang, tapi ia tetap bahagia karena
inilah jalan hidup yang ia pilih, jalan yang membuat banyak orang iri bahkan
benci, yang membuat para bidadari surga tak bersabar untuk bertemu dengannya,
jalan para nabi dan rasul, jalan menuju keselamatan dunia dan akhirat.