Minggu, 04 November 2012

kisah di ujung senja


Kisah di ujung senja

Suara lantunan ayat suci Al-Quran bergema di Negeri ini, Bersaut-sautan satu sama lainnya, terdengar dari masjid-masjid di kota ini.terlihat marbot masjid pun antusias membersihkan tempat wudhu serta para jama’ah yang mulai berdatangan.
 Subuh  yang berkah, terlihat hamba-hamba allah yang ingin megabdikan diri pada tuhannya, di sepanjang jalan-jalan kecil negeri itu, ibu-ibu sudah berjejer seperti semut yang berjajar rapi, tak terkecuali dengan nenek tua yang bernama  mar’ah, ia yang sudah berumur tujuh puluh lima tahun, akan tetapi semangatnya masih membara untuk berjama’ah ke masjid, walaupun jarak tempuh dari rumahnya hampir 500 m.
Dengan di bantu cucunya rini, sang nenek selalu datang tepat waktu, ia biasanya datang lebih awal dari jama’ah lainya, ia selalu sholat di shaf paling  depan agar seusai sholat ia bisa leluasa mendengar ceramahnya ust fatih, seperti biasa dimasjid yang menjadi kebanggaan warga ciputat itu sesudah sholat subuh selalu diadakan ceramah yang biasanya di isi oleh ust Fatih dan ust Fikri, iniah yang membuat si nenek  selalu ingin sholat di shaf paling depan.
Banyak  yang simpati dan benar-benar salut dengan semangatnya si  nenek, bahkan para pemuda di kota  itupun merasa malu kepadanya  yang semangat keagamannya tiada tara, walau Ia seorang  nenek yang sudah  tua renta, namun semangatnya melebihi para pemuda.
Namun pagi ini kelihatan  berbeda nek mar’ah tidak seperti bisanya, ia datang  ketika azan sudah berkumandang, dan langkahnya tak setegas hari-hari sebelumnya,  wajahnya Nampak pucat, dan badannya kelihatan begitu letih, ia memasuki masjid dan langsung mengambil barisan di belakang, sejadah yang bisa di isi olehnya sudah ada yang mengisi karena sholat sudah mau di mulai, ibu-ibu jama’ah juga merasa heran kenapa kali ini nek mar’ah terlambat, namun mereka belum sempat menanyakannya karena imam sudah memulai takbir.
Seusai sholat subuh ust fikri langsung memberikan ceramah, kali ini ust fikri yang mengisi ceramah dan membawakan tema mengenai ikhlas beribadah, dan kesabaran dalam menjalankannya. semua jama’ah dibuat  kagum dan semangat lagi dalam menjalankan ibadah, para jama’ah sangat terhibur karena ceramah ust fikri diselingi  dengan kisah-kisah lucu dan menggelikan.
Namun nek mar’ah tetap diam, ia tidak seantusias biasanya, ia juga tidak bertanya pagi ini,  biasanya dialah yang paling banyak bertanya tentang perbagai problematika kehidupan yang dialaminya, bahkan terkadang ibu-ibu yang lain merasa jengkel karena banyaknya pertanyaan yang di ajukan si nenek tua itu, hingga ibu-ibu yang lain tidak kebagian waktu untuk bertanya.
Aktivitas di masjid pun selesai setelah ust Fikri menutup acara dengan do’a, ibu-ibu jama’ah ada yang lansung pulang, dan ada pula yang masih di masjid menghadap ust Fikri, mereka  menanyakan hal-hal yang urgen yang tidak mungkin di bahas di forum umum menurut mereka.
Sedangakan si nenek hanya berdiam sambil sesekali mulutnya melafazdkan  zikir kepada allah, Dan air matanya mulai bercucuran ibu-ibu jama’ah yang masih di masjid makin penasaran dengan keadaan yang menimpa nenek yang hidup sebatang kara itu, namun mereka takut menanyakannya.
Bu ida yang biasanya paling dekata nek mar’ah mulai menanyakan hal apa yang menimpa nek mar’ah, namun nenek tua itu tetap diam, lama sekali bu Ida menunggu jawaban dari  nek mar’ah, namun jawaban yang ia dapatkan hanya lah kucuran air mata, hingga bu  Ida juga ikut-ikutan menangis.
Dengan terbata-bata si nenek mulai menceritakan kisahnya, kisah beberapa puluh tahun yang lalu, kisah yang sudah ia kubur dalam-dalam, sebenarnya subuh ini seperti biasanya  ia sudah siap berangkat ke masjid sebelum azan berkumandang, namun ketika bu mar’ah  membuka pintu gubuknya tiba-tiba sosok lelaki tua hadir di hadapannya, ia heran siapa kakek tua yang menghalangi jalannya, setelah lama berdiri dan ia  terus mengamati sosok lelaki tua itu.
Lama-kelamaan sosok lelaki itu mulai terekam memorinya, seakan-akan ia sangat kenal dengan sosok lelaki itu, ia pun memperjelas pandangannya, dan beberapa kali mengucek-ngucek matanya, ia ragu apa benar sosok yang hadir di hadapannya ialah suaminya?.
Suami yang sangat di cintainya, yang menghilang tiga puluh lima tahun yang silam, suami yang tega meninggalkannya ketika ia tergeletak sakit parah demi wanita lain,  yang ia mengikat janji suci denganya, namun dikhianati leleki itu.
Lelaki itupun mulai berkata, “ mar’ah’ ini aku asep suamimu,  maafkan aku mar’ah, aku telah banyak bersalah kepadamu, aku telah tega meninggalkanmu ketika kamu dalam keadaan sakit parah, aku rela meninggalkan mu demi wanita yang tidak seharusnya aku membagi cinta padanya. Suara lelaki itu terdengar parau.
Aku sadar sekian puluh tahun aku meninggalkan mu, namun selama itu juga rasa bersalah ini menghantui diriku, aku tidak bisa membohongi diriku sendiri, kalau cinta sejatiku hanyalah kamu, kini aku tinggal sebatang kara, dan selama dua puluh tahun ini aku juga hidup di gubuk yang hampir sama dengan mu. Cerita lelaki tua itu.
Tepatnya dua puluh tahun yang lalu, keluarga kami ditimpa musibah, rumah kami kebakaran, semuanya habis, fita dan kedua anak kami juga tidak terselamatkan, sejak saat itulah aku hidup sendirian dan tinggal gubuk kecil di bawah kolong jembatan.
Aku ingin menjelaskannya sekarang mar’ah, aku menikahi fita semata-mata karenamu juga, karena waktu itu aku tidak punya uang untuk membiayai pengobatanmu, maka fita sahabatmu sendiri yang ketika SMA dulu sama-sama menyukaiku memberikan tawaran, kalau dia akan membiayai semua pengobatannmu asalkan akau harus menikahinya, dan menghilang dari kehidupanmu selamnya.
Aku sangat menyayangimu mar’ah, aku tidak ingin kamu meninggal, makanya aku melakukan ini semua, dan mengatakan pada semua orang, kalau aku meninggalkanmu karena kamu sudah sakit parah dan tidak berguna lagi, dan aku bilang pada semua orang kalau aku sudah punya istri sebagai penggantimu.
 Lelaki tua itupun menangis sesunggukan.
Nek mar’ah hanya bisa menangis, ia tak berdaya, ia hanya terus mengeluarkan bulir-bulir air matanya, betapa kecewanya ia selama ini, ketika  mendengar suaminya meninggalkannya karena keadan sakit yang dideritanya, dan yang paling  menyakitkan lagi ketika ia mengetahui bahwa istri  suaminya adakah teman akrabnya sendiri.
Dalam hati ia tidak akan pernah memaafkan mereka berdua selamanya, dan rasa benci itu telah mendarah daging selama tiga puluh lima tahun, kini sosok lelaki yang dulu paling di cintainya datang dan mengungkap sejarah  masa lampau, ia datang ketika rasa cinta itu telah mati, ketika ia telah lupa bahwa ia pernah punya suami.
Tak lama kemudian nek marah angkat bicara, rasa kekecewannya ia tumpahkan semuanya, sumpah serapah pun ia keluarkan, bahwa ia tidak akan pernah memaafkan suaminya, kisah sebelum subuh itupun ditutup dengan pengusiran, nenek tua itu mengusir suaminya yang sudah tua renta, ia sama sekali tidak mengizinknnya masuk, mungkin karena sakit hati yang sudah puluhan tahun yang dideritanya, membuatnya jadi wanita berhati batu, walau dalam hati kecilnya ia  masih sangat mencintai suaminya, ia masih ingin mencium keningnya untuk yang terakhir kalinya, namun rasa kekecewanya membuta nya tak melihat kesungguhan suaminya untuk minta maaf.
Suaminya layaknya gelandangan, memakai pakaian yang kumuh, dan membawa pakain kumuh nya yang di balut sarung sholat. Ia meninggalkan rumah istrinya dengan linangan air mata, ia merasa begitu bersalah karena tidak bisa membuat mar’ah bahagia.
Ibu-ibu yang mendengar kisahnya Nek mar’ah tak bisa membendung air mata, mereka semua menangis dan kasian akan peristiwa yang menimpa nek mar’ah, ibu-ibu jama’ah masjid itupun memeluk nek mar’ah bergiliran, mereka menunjukkan rasa simpatinya, dan memberi nasehat kalau suaminya datang lagi agar ia memaafkannya.
Setelah menceritakan semuanya nenek tua itupun merasa lebih lega, dan dalam hati ia mulai memaafkan suaminya, ketika masih dalam keadaan haru, salah satu pengurus masjid lari kedalam masjid begitu cepatnya, spontan ibu-ibu pengajian kaget dan bertanya apa yang terjadi, si pengurus masjid pun bercerita kalau ada lelaki tua yang tertabrak bus kopaja di jalan belokan kira-kira 200 m dari masjid, spontan ibu-ibu yang ada di masjid langsung menuju kesana, tak terkecuali dengan si nenek tua, sesampai di tempat tak ada satupun yang mengenal jasad lelaki itu, bahkan beberapa dari mereka mengataka kalau itu hanyalah pemulung biasa, yang banyak meresahkan warga.
Nek mar’ah mulai mendekat dan melihat sosok yang tak berdaya itu, nenek tua  itupun  spontan berteriak dan menangis sejadi-jadinya ketika ia melihat sosok yang ada di hadapnnya adalah suaminya, yang belum sempat ia memberikan maaf baginya, kini sosok lelaki yang ada di hadapannya sudah tak berdaya, seluruh tubuhnya di lumuri darah dan beberapa tulangnya patah.
Si nenek hanya bisa meratapi nasibnya, ia hanya bisa menagis, begitu juga dengan warga yang menyaksikannya, apalagi mereka yang mengetahui kisah dan kejadian yang sebenarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar